Kebahagiaan Sejati

Kamis, 08 April 2010

Terminal tak pernah sepi dan sesak oleh pengunjungnya. Belum lagi suasana kepengapannya disiang bolong. Hal itu membuat hari-hari diterminal selalu dihiasi fenomena ketakutan, kecemasan, kebisingan dan ketegangan. Hingga tidak sedikit orang-orang yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Tak perduli penderitaan orang lain.
”Yang dingin.. Yang dingin...”
”Mas beli minumannya Mas?”
”Eh... Boleh Bang... Yang dingin satu yah.”
Begitulah suasana diterminal. Suasana yang sangat panas. Matahari seperti marah, berwarna merah menyala. Panasnya pun telah menciptakan fatamorgana-fatamorgana di sepanjang jalan.
Sementara itu, di sebuah halte dekat terminal, terlihat Pemuda bertubuh gempal sedang duduk sambil melamun. Wajahnya kusut, pucat tak bercahaya. Terik matahari menusuk kulitnya yang hanya terbalut kaos oblong. Ditangannya ternggenggam sebotol minuman air mineral dan sebuah sapu tangan berwarna merah. Sesekali ia usap wajahnya dengan sapu tangan dan ia teguk air minum dari botol yang digenggamnya.
Masih disebuah halte, debu jalanan terbang kian kemari. Mencari tempat untuk bersinggah. Terasa menempel dikulitnya yang berwarna sawo matang itu. Deru mesin mobil pun berbisik keras ditelinganya. Berbisik tiada arti. Hanya bisa memekikkan telinganya hingga terasa sakit. Sebentar-sebentar ia tutup hidungnya dengan sapu tangan berwarna merah yang dari tadi digenggamnnya. Lalu ia tutup telinganya dengan kedua tangannya. Bermaksud meredam suara bising mesin mobil yang dari tadi selalu saja menderu.
Ia mulai memainkan matanya kesana kemari. Seperti mencari sesuatu yang dari tadi ia tunggu. Lantas pandagannya terpaku sejenak. Tepat dihadapannya ia melihat anak kecil kurus tanpa sandal berlari mengejar bus sambil menenteng gitar lusuh tak berbentuk. Namun seperti tidak peduli, bus itu tetap saja melaju kencang. Kondektur bersuara lantang itu pun sama sekali tidak peduli pada anak kecil itu. Ia hanya berteriak-teriak mencari penumpang. Kadang kondektur itu menarik paksa penumpang agar menaiki busnya.
Tidak jauh dari tempat anak kecil itu, di seberang jalan, ia melihat nenek tua berjalan begitu pelan. Mondar-mandir di depan orang-orang, sambil mengangkat tangan kanannya dengan telapak tangan terbuka. Namun tak satu pun orang yang menyambut tangannya. Nenek itu didampingi anak kecil tak berbaju menggandeng tangan kiri sang nenek. Mungkin itu cucunya. Orang-orang yang dihampiri nenek dan cucunya itu hanya mengangkat tangan dan mengucapkan sesuatu entah apa itu. Ia tidak dapat mendengarnya dari kejauhan.
Sekilas fenomena tersebut membuatnya miris. Ternyata begitu banyak orang yang tidak peduli dengan kehidupan sekitar. Orang-orang itu hanya mementingkan diri sendiri. Hanya memikirkan kebahagiaannya sendiri tanpa memimikirkan penderitaan orang lain yang berada disekitarnya.
Sungguh ia ingin sekali menolong nenek tua dan cucunya itu. Namun uangnya sudah habis. Hanya tersisa untuk makan malamnya hari ini. Ia hanya membawa uang pas-pasan. Maklum saja, sudah tiga hari ia pergi meninggalkan rumahnya. Meninggalkan keluarganya. Meninggalkan teman-temannya. Meninggalkan kemewahan hidupnya. Entahlah, entah apa yang ia cari hingga ia rela meninggalkan semua yang ia miliki itu.
***
Tidak terasa waktu bergulir begitu cepat. Hari mulai petang. Matahari pun turun, kembali ke peradabannya. Cahayanya mulai redup tak lagi merah menyala. Jam tangan kesayangannya menunjukan tepat pukul lima sore.
”Heh...!!! Di terminal tidak boleh bengong,” Tiba-tiba seorang bapak tua mengagetkannya.
”Eh... Iya Pak... Maaf, memangnya kenapa?” Jawabnya sedikit terkejut.
”Kamu mau barang-barangmu di ambil copet?”
”Oooh... Maaf Pak. Aku hanya sedang memandang dunia disekelilingku. Ternyata masih banyak dunia yang masih belum aku ketahui. Termasuk orang-orang yang berdiri itu. Nenek tua yang mengangkat tangannya itu. Nenek itu seperti tidak bosan mengangkat tangannya walaupun orang-orang itu tidak ada yang peduli. Dan seorang anak kecil itu yang dari tadi terus berlari mengejar bus-bus yang menghampirinya sambil membawa gitar kecil yang sudah lusuh. Ia tetap saja berlari walaupun supir bus itu tidak peduli padanya dengan melajukan busnya begitu kencang.”
”Mmmm... Namamu siapa Nak?” bapak tua itu mengalihkan pembicaraan.
”Aku Doni Pak. Bapak?”
”Panggil saja aku Pak Husein.”
Lalu bapak tua itu tersenyum seraya berucap, ”Memang begitu banyak dunia yang terlupakan Nak. Termasuk mereka yang melupakan orang disekitarnya yang membutuhkan bantuan. Mereka seakan tidak perduli dengan kehidupan selain kehidupan mereka. Mereka hanya mementingkan diri sendiri. Yang penting hidup mereka bahagia, orang lain peduli setan.”
”Boleh aku duduk disampingmu Nak?” ucap Pak Husein sambil menunjuk ke arah kursi yang dari tadi diduduki oleh Doni.
”Oh... Silahkan Pak..” jawab Doni.
Lalu Pak Husein pun duduk disamping Doni sambil menepuk pundaknya yang bidang dan kekar itu. Pak Husein kembali tersenyum sambil menatap matanya. Doni menyambutnya dengan senyuman manis. Guratan-guratan masalah diwajah Doni begitu jelas terlihat. Pak Husein diam-diam memperhatikan wajahnya yang lusuh tiada berseri itu. Seperti ada yang mengaburkan wajah kekanak-kanakannya. Seharusnya ia terlihat ceria dengan wajah kekanak-kanakannya itu.
”Kamu sedang ada masalah Nak?” kata Pak Husein.
”Hah? Bapak tahu dari mana kalau aku sedang ada masalah?” tanya Doni dengan penuh heran.
”Sudahlah... Tak perlu tahu aku tahu dari mana. Ceritakanlah padaku, siapa tahu aku dapat membantumu.” ucap Pak Husein sambil membersihkan kacamatanya yang kotor oleh debu.
Doni tidak berkata apa-apa. Ia masih heran kenapa Pak Husein tahu kalo ia sedang ada masalah. Pak Husein sepertinya memang dari tadi memperhatikan gerak-gerik Doni yang hanya melamun seperti orang yang sedang mempunyai masalah.
”Lah... Ko malah bengong lagi...!” celetuk Pak Husein.
”Eh... Hehe... Iya Pak...” jawab Doni sambil tertawa kecil.
Akhirnya dengan nada pelan, Doni pun menceritakan semua masalah yang saat ini mengganggu hatinya. Ia tumpahkan semua kejenuhannya tentang hidup. Ia merasa bahwa ia belum pernah mendapatkan kebahagiaan sejati selama ia hidup didunia ini. Kebahagiaanya selama ini hanyalah kebahagiaan semu. Hanya sebatas angin lalu. Datang dengan cepat, singgah sejenak, lalu pergi tanpa sisa.
Padahal jika dipahami secara logika, Doni harusnya selalu bahagia. Hidupnya serba kecukupan. Malah melebihi kata cukup. Doni terlahir dari keluarga konglomerat. Rumah mewah, mobil banyak dan uang melimpah. Ayah dan ibunya adalah seorang pengusaha. Ia juga memiliki banyak teman yang selalu ada untuk menemaninya.
Walau hidupnya penuh dengan kemewahan, namun ia tidak merasa menikmati semua itu. Hingga ahirnya ia memutuskan untuk pergi mencari kebahagiaan sejati diluar dari semua apa yang selama ini ia miliki. Menurutnya hidupnya belum sempurna kalau ia belum menemukan kebahagiaan sejati. Yang datang dan selalu singgah serta setia menemani perjalanan hidupnya.
***
Tiga jam tanpa pamit. Sepertinya malam tiba. Langit sedikit gelap tanpa cahaya matahari. Cuaca mulai terasa dingin. Debu jalanan masih saja beterbangan ditiup angin. Deru mesin mobil juga tak henti-henti memekikkan telinganya. Namun mereka masih saja duduk dan berbincang. Doni telah menceritakan semua masalah yang mengganggu hatinya selama ini kepada Pak Husein. Dengan penuh penghayatan Pak Husein pun mendengarkan curahan hati Doni.
Sementara, diseberang jalan, Nenek tua dan cucunya itu masih saja mondar-mandir menghampiri orang-orang yang berlalu lalang. Berharap ada orang baik memperdulikannya. Namun anak kecil yang dari tadi sore mengejar bus sudah tidak nampak lagi. Mungkin anak itu sudah lelah berharap dengan orang-orang yang tidak peduli terhadap penderitaannya. Sudah lelah berkutat dengan keditakpastian. Sudah bosan dengan mimpi-mimpi yang tak kunjung nyata.
”Seandainya aku punya banyak uang, pasti akan aku bantu mereka,” bisik Doni sambil menatap nenek tua dan cucunya itu.

”Tak perlu banyak uang jika kamu mau membantu mereka,” Pak Husein menyambut bisikan Doni.
”Mereka sebenarnya tidak membutuhkan banyak uang yang diberikan oleh orang-orang jika orang yang memberi uang kepada mereka tidak didasarkan atas keikhlasan hati. Karena yang mereka butuhkan adalah keikhlasan hati orang yang membantunya walaupun apa yang diberikan itu bernilai sedikit. Lanjutkan rasa empatimu dengan tindakan nyata dan penuh keikhlasan untuk mereka. Maka kamu akan mendapatkan kebahagiaan sejati yang selama ini belum kamu temukan,” lanjutnya sambil menepuk pundak Doni.
Lantas Pak Husein pun pergi meninggalkan Doni. Doni terdiam sejenak sambil terus memandang Pak Husein yang berjalan kian jauh meninggalkannya. Pak Husein datang dan pergi begitu saja. Hanya meninggalan pesan yang belum bisa dipahami oleh Doni. Doni sendiri belum bisa memahami apa yang dikatakan Pak Husein selepas Pak Husein pergi.
Doni kembali melamun. Merenungi perkataan Pak Husein tadi. Ia mengusap lagi wajahnya yang penuh debu dan keringat dengan sapu tangan merahnya. Sesekali ia teguk minuman yang masih tersisa dibotol yang ia genggam dari tadi, sambil teus merenungi perkataan Pak Husein,
”Apa maksud perkataan Pak Husein tadi?” tanyanya dalam hati.
”Ah... Sudahlah... Aku pikirkan nanti saja. Lebih baik aku makan dulu. Perutku sudah terasa perih.”
Tanpa beban, Doni pun beranjak dari tempat duduknya. Pergi berjalan mencari tempat makan. Dalam perjalanannya, ia masih saja memikirkan maksud peratakan Pak Husein. Namun tak jua mampu ia pahami.
***
Setelah kian lama berjalan, dari kejauhan ia melihat Store KFC yang menjulang tinggi dengan lampu sangat terang. Ia pun bergegas mendatanginya. Rupanya malam itu, ia lihat Store KFC sangat ramai oleh pengunjung. Dari jauh Doni sudah membayangkan kalau ia akan membeli paket ’Kombo Hit List’ yang ayamnya dua potong. Kombo Hit List memang salah satu paket makan favorit Doni di KFC.
Dan akhirnya ia sampai juga di Store KFC. Tepat didepan pintu masuk Store KFC, Doni merogoh kantong celananya yang sudah tiga hari belum diganti. Ia ingin memastikan apakah uangnya cukup untuk membeli paket Kombo Hit List favoritnya atau tidak. Ternyata cukup, malahan masih ada kembalianya sedikit.
Namun, ketika ia ingin melangkahkan kakinya untuk masuk, tiba-tiba ada yang menarik bajunya dari belakang. Ia tengokkan kepalanya kebelakang. Ternyata seorang anak kecil yang ia lihat sore tadi bersama nenek tua. Yang tadi sore ia obrolkan bersama Pak Husein. Anak itu membuka telapak tangannya bermasud ingin meminta bantuan kepada Doni. Entah kenapa anak kecil itu hanya mendatanginya. Padahal banyak orang-orang diluar yang sedang santai. Doni juga tidak tahu kenapa anak kecil itu tidak bersama neneknya.
”Kak... Tolong Kak... Tolong bagi sedikit rezekinya. Kami sangat lapar. Dari pagi belum makan.” ucap anak kecil itu dengan penuh kepolosan.
Doni merasa iba melihat anak kecil itu. Kurus, dekil, dan terlihat begitu sangat kelaparan. Belum lagi warna kulitnya yang kusam karena sengatan matahari. Dan rambutnya yang penuh dengan debu. Lantas Doni menggenggam telapak tangan anak itu. Ia rendahkan tubuhnya untuk berbicara dengan anak itu.
”Namamu siapa De?”
”Agus,” jawab anak itu sambil menatap Doni dengan penuh harapan.
”Bukannya tadi sore aku lihat kamu bersama seorang nenek, sekarang nenek itu mana?”
”Hiks... Hiks... Dia nenekku. Nenek aku tinggalkan disana. Nenek sudah tidak kuat untuk berjalan. Katanya badannya sangat lemas,” jawab Agus sambil menangis.
”Oh... Ya sudah kamu jangan menangis. Kamu tunggu disini sebentar yah. Kakak mau beli makanan dulu untuk kamu dan nenekmu,” ujar Doni sambil mengusap air mata Agus.
Tanpa berpikir panjang, Doni pun bergegas masuk kedalam Store KFC untuk membeli makan. Ia pesan paket Kombo Hit List yang dari tadi sudah ia niatkan. Ramainya pengunjung sama sekali tidak diperdulikannya. Ia hanya memikirkan nenek tua yang mungkin saat ini sedang sakit menahan lapar. Dan Agus yang dari tadi tidak berhenti menangisi keadaan neneknya yang sudah tidak kuat berjalan.
Setelah sepuluh menit menunggu, akhirnya ia mendapatkan makanan yang sudah ia pesan. Lalu ia pun bergegas kembali menuju ke tampat Agus dengan menenteng sekantong pelastik berlogokan KFC yang didalamnya terdapat makanan paket Kombo Hit List.
”Dimana nenekmu Gus?” tanya Doni.
”Disana Kak...” jawab Agus sambil menunjuk ke arah halte seberang jalan.
Dengan tergesa-gesa, mereka pun berjalan menuju halte seberang jalan tempat neneknya Agus beristirahat. Setelah tiba dihalte, mereka melihat neneknya sedang meringis menahan sakit pada perutnya.
”Nek... Nenek sekarang makan yah sama Agus. Ini sudah saya bawakan makanan untuk nenek dan Agus,” ucap Doni sambil tersengal-sengal.
Doni yang sudah tidak tega melihat tangis Agus dan rasa sakit nenek tua itu. Doni langsung memberikan makanannya yang ia beli di Store KFC kepada Agus dan Nenek yang sudah tua itu. Mereka terlihat sangat kelaparan. Mereka memakannya dengan sangat lahap. Dan yang membuat Doni senang, mereka makan sambil tersenyum dan berpandangan seakan impian dan harapan mereka telah menjadi kenyataan. Hingga tanpa sadar air mata Doni pun keluar tak tertahan.
”Kenapa kakak menangis?” Agus merasa heran.
”Aku bahagia melihat kamu dan nenekmu tersenyum lebar ketika menyantap makanan dariku. Senyum kalian begitu sangat tulus dimataku,” ujar Doni sambil tersenyum.
Tidak pernah ia bayangkan betapa bahagianya ia saat ini. Kebahagiaan yang membuatnya mampu mengeluarkan air mata tanpa sadar. Kebahagiaan yang selama ini belum pernah ia temukan dalam lingkungan keluarganya maupun teman-temanya. Bahkan kebahagiaan itu mampu melenyapkan rasa laparnya meskipun ia belum sempat makan sesuap makananpun.
Sambil mengusap air matanya, Doni terus memandang Agus dan neneknya yang sedang menyantap makanan darinya itu. Mereka berdua terlihat begitu bahagia. Walaupun makanan dari Doni mungkin masih belum bisa mengobati rasa lapar mereka.
***
Satu jam telah berlalu. Malam pun kian larut. Mereka terlihat semakin akrab. Bercanda dan tertawa bersama di halte, sambil memandangi kendaraan yang melaju dihadapan mereka. Tidak ada lagi kesedihan. Tidak ada lagi penderitaan. Tidak ada lagi kecemasan yang selama ini menghiasi kehidupan mereka.
Mereka telah menciptakan kebahagiaan dan menemukan kebahagiaan sejati. Hingga akhirnya mereka pun mengakhiri pertemuannya yang terbilang singkat namun sangat membahagiakan itu.
”Oia Kak... Hampir saja lupa. Ini tadi ada bapak tua yang menitipkan selembar kertas ini untuk Kak Doni,” jelas Agus kepada Doni sambil menunjukan selembar kertas dan memberikannya kepada Doni.
”Kertas apa ini? Kamu tahu siapa bapak yang memberikan kertas ini?”
(Agus hanya menggelengkan kepala).
Merasa penasaran, Doni pun langsung membuka selembar kertas yang dilipat rapih itu. Ia lihat ada sebaris tulisan yang ditulis tangan dengan menggunakan pena bertinta hitam. Lalu ia baca tulisan itu....
”Kebahagiaan sejati akan kamu temukan ketika kamu mampu saling berbagi dengan penuh rasa keikhlasan”
Doni hanya tersenyum setelah membaca tulisan itu...