Renungan dari Hati

Kamis, 22 April 2010

Suatu ketika aku bertanya pada hatiku….

”Wahai Hati... Apa yang harus aku lakukan ketika aku berada diantara pilihan-pilihan dalam hidupku?”


Hati pun menjawab...

”Ikutilah kata-kataku... Maka kau akan menemukan kebahagiaan didalamnya...!!”


Aku terkejut mendengar jawaban Hati...

”Hah? Mengikuti kata-katamu?” ”Sudah teramat sering aku mengikuti kata-katamu. Sudah terlalu sering pula aku korbankan keinginanku hanya untuk mengikuti kata-katamu. Tapi apa yang aku dapatkan? Tidak pernah aku temukan kebahagiaan didalam kata-katamu. Tidak pernah sedikitpun kegembiraan yang kau pancarkan didalam kata-katamu. Bahkan senyum dan tawa pun tidak pernah nyata didalam kata-katamu. Aku hanya mendapatkan kesedihan, kesakitan, penderitaan, bahkan keterpurukan. Apa memang itu yang selalu tersimpan di balik kata-katamu?”


Saat itu, Hati hanya diam tak bersuara. Warnanya yang merah, tidak lagi cerah dimataku. Bentuknya yang indah seakan menciut karna pertanyaanku. Sungguh diluar dugaanku. Padahal aku sangat berharap dia dapat menjawab semua pertanyaan-prtanyaan yang selama ini megganggu pikiranku.


Karna kesal, aku pun kembali bertanya dengan suara lantang.

”Hei... Bisakah kau menjawab semua pertanyaanku?”


Akhirnya Hati pun menjawab.

”Bukannya aku tidak bisa menjawab semua pertanyaanmu. Tapi aku tidak pantas menjawabnya. Jawaban dari semua pertanyaanmu adalah rahasia Tuhan. Aku tidak ingin seperti manusia yang dengan bangga memprediksi apa yang akan terjadi selanjutnya dikehidupanmu. Tuhan menciptakanku semata-mata hanya untuk membenarkan kesalahan yang masih dianggap benar oleh manusia.


Sekali lagi Hati menegaskan...

”Tuhan selalu menjanjikan kebahagiaan jika kamu mau mengikuti kebenaran didalam kata-kataku. Entah itu kebahagiaan yang nyata maupun yang tertunda. Untuk itu, Biarlah aku menjalankan tugasku tanpa harus menjawab semua pertanyaanmu.”

Tulisan Itu....

Stella kembali mengambil tulisan itu. Tulisan yang tersimpan didalam potongan kertas kecil yang dilipat indah dan diikat oleh pita berwarna merah mengkilap. Ia simpan kertas itu didalam kaleng kecil berbentuk hati yang ia beli sewaktu ia bertemu dengan pemilik tulisan itu. Pemilik tulisan itu adalah yang kini menjadi suaminya. Suami yang mampu memberikannya kebahagiaan karna cinta. Suami yang telah menggantikan posisi suami pertamanya. Suami pertamanya yang tidak pernah memberikannya kebahagiaan karna cinta.


Lalu, ia buka perlahan potongan kertas kecil itu. Memang agak sedikit usang dan kotor oleh debu. Mungkin sudah terlalu lama ia simpan dan terlalu sering ia ambil dari tempatnya. Tulisannya pun sedikit luntur, namun warna tintanya yang merah masih menyala terang. Masih nampak jelas terbaca meski matanya sudah sedikit rabun oleh usia. Tulisan yang terukir indah dengan nuansa kehangatan dan pencerahan didalamnya. Tulisan yang membuatnya harus merelakan suami pertamanya atas nama cinta suami keduanya. Tulisan yang membuatnya tersadar bahwa, Tulisan Itu...


CINTA tidak pernah salah...

Karna CINTA tumbuh melalui hati bukan pikiran...

Itulah CINTA...

Dan akhirnya kita pun akan mengerti...

Bahwa CINTA memilih atas dasar rasa bukan logika...

Terbunuh Sepi

Dingin menusuk tulang…

Mendera hati tak pasti…

Kadang suka…

Kadang duka…


Jangkrik bersuara…

Lantang tiada arti...

Sumbang dalam gelap...

Bicara tentang hidup...

Katanya...


Aku hidup demi mimpi...

Aku hidup demi harapan...

Aku hidup demi keinginan...


Namun...

Akhirnya...

Dia pun harus mati oleh sepi....

Hidupkan Kembali Budaya Diskusi

Jumat, 09 April 2010
Dunia kampus kini kehilangan akan jati dirinya. Kampus saat ini sedang mengalami disorientasi. Dunia kampus hanya diwarnai oleh mahasiswa-mahasiswa yang cenderung menjadi kalangan oportunis atau malah apatis. Lihat saja realitas tersebut diberbagai kampus. Budaya diskusi yang telah ada sejak dulu dan telah tertanam dalam diri mahasiswa, kini sudah jarang terlihat. Bahkan sudah menghilang entah kemana. Yang nampak hanya budaya Glamour, Hedon, Konsumerisme, dan lainnya mewarnai hampir di seluruh aktifitas serta kehidupan mahasiswa.

Padahal sebagai bagian dari masyarakat yang sedang menempuh proses pendidikan tertinggi, dengan sendirinya mahasiswa dipandang sebagai kaum intelektual. Kombinasi antara kesadaran diri sebagai warga kaum cendekiawan dan harapan masyarakat terhadap golongan intelektual merupakan kekuatan pendorong bagi mahasiswa untuk ikut mengemban peran golongan intelektual. Berdasarkan kapasitasnya sebagai kekuatan massa dan kaum intelektual, mahasiswa melaksanakan fungsi-fungsi kaum cendekiawan. Diantara lima kategori fungsi kaum cendekiawan yang dikemukakan oleh Shils, yaitu: Pertama, menciptakan dan menyebar kebudayaan tinggi dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Kedua Menyediakan bagan-bagan nasional dan antar bangsa melalui kawasan terpadu. Ketiga, Membina keberdayaan bersama. Keempat, mempengaruhi perubahan sosial. Dan kelima, memainkan peran politik.

Hal demikian terjadi karena adanya perubahan sosial budaya dikalangan mahasiswa saat ini. Perubahan sosial budaya merupakan sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan.

Perubahan sosial budaya terjadi karena beberapa faktor. Di antaranya komunikasi; cara dan pola pikir masyarakat; faktor internal lain seperti perubahan jumlah penduduk, penemuan baru, terjadinya konflik atau revolusi; dan faktor eksternal seperti bencana alam dan perubahan iklim, peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain.

Namun ada pula beberapa faktor yang menghambat terjadinya perubahan, misalnya kurang intensifnya hubungan komunikasi dengan masyarakat lain; perkembangan IPTEK yang lambat; sifat masyarakat yang sangat tradisional; ada kepentingan-kepentingan yang tertanam dengan kuat dalam masyarakat; prasangka negatif terhadap hal-hal yang baru; rasa takut jika terjadi kegoyahan pada masyarakat bila terjadi perubahan; hambatan ideologis; dan pengaruh adat atau kebiasaan.

Sepertinya mahasiswa telah dirasuki oleh budaya bangsa lain. Mahasiswa saat ini enggan memberikan sumbangsih pikirannya terhadap komunitas diskusi di kampus. Jangan-jangan saat ini ilmu sudah tidak penting bagi mahasiswa dan jangan-jangan budaya diskusi dalam kampus di anggap sudah tidak berguna. Dimana peran mahasiswa sebagai agen of change dan sebagai pembela serta penolong rakyat kecil? Akan jadi apa bangsa Indonesia kedepan jika mental-mental penerus bangsa seperti itu?

Kebahagiaan Sejati

Kamis, 08 April 2010

Terminal tak pernah sepi dan sesak oleh pengunjungnya. Belum lagi suasana kepengapannya disiang bolong. Hal itu membuat hari-hari diterminal selalu dihiasi fenomena ketakutan, kecemasan, kebisingan dan ketegangan. Hingga tidak sedikit orang-orang yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Tak perduli penderitaan orang lain.
”Yang dingin.. Yang dingin...”
”Mas beli minumannya Mas?”
”Eh... Boleh Bang... Yang dingin satu yah.”
Begitulah suasana diterminal. Suasana yang sangat panas. Matahari seperti marah, berwarna merah menyala. Panasnya pun telah menciptakan fatamorgana-fatamorgana di sepanjang jalan.
Sementara itu, di sebuah halte dekat terminal, terlihat Pemuda bertubuh gempal sedang duduk sambil melamun. Wajahnya kusut, pucat tak bercahaya. Terik matahari menusuk kulitnya yang hanya terbalut kaos oblong. Ditangannya ternggenggam sebotol minuman air mineral dan sebuah sapu tangan berwarna merah. Sesekali ia usap wajahnya dengan sapu tangan dan ia teguk air minum dari botol yang digenggamnya.
Masih disebuah halte, debu jalanan terbang kian kemari. Mencari tempat untuk bersinggah. Terasa menempel dikulitnya yang berwarna sawo matang itu. Deru mesin mobil pun berbisik keras ditelinganya. Berbisik tiada arti. Hanya bisa memekikkan telinganya hingga terasa sakit. Sebentar-sebentar ia tutup hidungnya dengan sapu tangan berwarna merah yang dari tadi digenggamnnya. Lalu ia tutup telinganya dengan kedua tangannya. Bermaksud meredam suara bising mesin mobil yang dari tadi selalu saja menderu.
Ia mulai memainkan matanya kesana kemari. Seperti mencari sesuatu yang dari tadi ia tunggu. Lantas pandagannya terpaku sejenak. Tepat dihadapannya ia melihat anak kecil kurus tanpa sandal berlari mengejar bus sambil menenteng gitar lusuh tak berbentuk. Namun seperti tidak peduli, bus itu tetap saja melaju kencang. Kondektur bersuara lantang itu pun sama sekali tidak peduli pada anak kecil itu. Ia hanya berteriak-teriak mencari penumpang. Kadang kondektur itu menarik paksa penumpang agar menaiki busnya.
Tidak jauh dari tempat anak kecil itu, di seberang jalan, ia melihat nenek tua berjalan begitu pelan. Mondar-mandir di depan orang-orang, sambil mengangkat tangan kanannya dengan telapak tangan terbuka. Namun tak satu pun orang yang menyambut tangannya. Nenek itu didampingi anak kecil tak berbaju menggandeng tangan kiri sang nenek. Mungkin itu cucunya. Orang-orang yang dihampiri nenek dan cucunya itu hanya mengangkat tangan dan mengucapkan sesuatu entah apa itu. Ia tidak dapat mendengarnya dari kejauhan.
Sekilas fenomena tersebut membuatnya miris. Ternyata begitu banyak orang yang tidak peduli dengan kehidupan sekitar. Orang-orang itu hanya mementingkan diri sendiri. Hanya memikirkan kebahagiaannya sendiri tanpa memimikirkan penderitaan orang lain yang berada disekitarnya.
Sungguh ia ingin sekali menolong nenek tua dan cucunya itu. Namun uangnya sudah habis. Hanya tersisa untuk makan malamnya hari ini. Ia hanya membawa uang pas-pasan. Maklum saja, sudah tiga hari ia pergi meninggalkan rumahnya. Meninggalkan keluarganya. Meninggalkan teman-temannya. Meninggalkan kemewahan hidupnya. Entahlah, entah apa yang ia cari hingga ia rela meninggalkan semua yang ia miliki itu.
***
Tidak terasa waktu bergulir begitu cepat. Hari mulai petang. Matahari pun turun, kembali ke peradabannya. Cahayanya mulai redup tak lagi merah menyala. Jam tangan kesayangannya menunjukan tepat pukul lima sore.
”Heh...!!! Di terminal tidak boleh bengong,” Tiba-tiba seorang bapak tua mengagetkannya.
”Eh... Iya Pak... Maaf, memangnya kenapa?” Jawabnya sedikit terkejut.
”Kamu mau barang-barangmu di ambil copet?”
”Oooh... Maaf Pak. Aku hanya sedang memandang dunia disekelilingku. Ternyata masih banyak dunia yang masih belum aku ketahui. Termasuk orang-orang yang berdiri itu. Nenek tua yang mengangkat tangannya itu. Nenek itu seperti tidak bosan mengangkat tangannya walaupun orang-orang itu tidak ada yang peduli. Dan seorang anak kecil itu yang dari tadi terus berlari mengejar bus-bus yang menghampirinya sambil membawa gitar kecil yang sudah lusuh. Ia tetap saja berlari walaupun supir bus itu tidak peduli padanya dengan melajukan busnya begitu kencang.”
”Mmmm... Namamu siapa Nak?” bapak tua itu mengalihkan pembicaraan.
”Aku Doni Pak. Bapak?”
”Panggil saja aku Pak Husein.”
Lalu bapak tua itu tersenyum seraya berucap, ”Memang begitu banyak dunia yang terlupakan Nak. Termasuk mereka yang melupakan orang disekitarnya yang membutuhkan bantuan. Mereka seakan tidak perduli dengan kehidupan selain kehidupan mereka. Mereka hanya mementingkan diri sendiri. Yang penting hidup mereka bahagia, orang lain peduli setan.”
”Boleh aku duduk disampingmu Nak?” ucap Pak Husein sambil menunjuk ke arah kursi yang dari tadi diduduki oleh Doni.
”Oh... Silahkan Pak..” jawab Doni.
Lalu Pak Husein pun duduk disamping Doni sambil menepuk pundaknya yang bidang dan kekar itu. Pak Husein kembali tersenyum sambil menatap matanya. Doni menyambutnya dengan senyuman manis. Guratan-guratan masalah diwajah Doni begitu jelas terlihat. Pak Husein diam-diam memperhatikan wajahnya yang lusuh tiada berseri itu. Seperti ada yang mengaburkan wajah kekanak-kanakannya. Seharusnya ia terlihat ceria dengan wajah kekanak-kanakannya itu.
”Kamu sedang ada masalah Nak?” kata Pak Husein.
”Hah? Bapak tahu dari mana kalau aku sedang ada masalah?” tanya Doni dengan penuh heran.
”Sudahlah... Tak perlu tahu aku tahu dari mana. Ceritakanlah padaku, siapa tahu aku dapat membantumu.” ucap Pak Husein sambil membersihkan kacamatanya yang kotor oleh debu.
Doni tidak berkata apa-apa. Ia masih heran kenapa Pak Husein tahu kalo ia sedang ada masalah. Pak Husein sepertinya memang dari tadi memperhatikan gerak-gerik Doni yang hanya melamun seperti orang yang sedang mempunyai masalah.
”Lah... Ko malah bengong lagi...!” celetuk Pak Husein.
”Eh... Hehe... Iya Pak...” jawab Doni sambil tertawa kecil.
Akhirnya dengan nada pelan, Doni pun menceritakan semua masalah yang saat ini mengganggu hatinya. Ia tumpahkan semua kejenuhannya tentang hidup. Ia merasa bahwa ia belum pernah mendapatkan kebahagiaan sejati selama ia hidup didunia ini. Kebahagiaanya selama ini hanyalah kebahagiaan semu. Hanya sebatas angin lalu. Datang dengan cepat, singgah sejenak, lalu pergi tanpa sisa.
Padahal jika dipahami secara logika, Doni harusnya selalu bahagia. Hidupnya serba kecukupan. Malah melebihi kata cukup. Doni terlahir dari keluarga konglomerat. Rumah mewah, mobil banyak dan uang melimpah. Ayah dan ibunya adalah seorang pengusaha. Ia juga memiliki banyak teman yang selalu ada untuk menemaninya.
Walau hidupnya penuh dengan kemewahan, namun ia tidak merasa menikmati semua itu. Hingga ahirnya ia memutuskan untuk pergi mencari kebahagiaan sejati diluar dari semua apa yang selama ini ia miliki. Menurutnya hidupnya belum sempurna kalau ia belum menemukan kebahagiaan sejati. Yang datang dan selalu singgah serta setia menemani perjalanan hidupnya.
***
Tiga jam tanpa pamit. Sepertinya malam tiba. Langit sedikit gelap tanpa cahaya matahari. Cuaca mulai terasa dingin. Debu jalanan masih saja beterbangan ditiup angin. Deru mesin mobil juga tak henti-henti memekikkan telinganya. Namun mereka masih saja duduk dan berbincang. Doni telah menceritakan semua masalah yang mengganggu hatinya selama ini kepada Pak Husein. Dengan penuh penghayatan Pak Husein pun mendengarkan curahan hati Doni.
Sementara, diseberang jalan, Nenek tua dan cucunya itu masih saja mondar-mandir menghampiri orang-orang yang berlalu lalang. Berharap ada orang baik memperdulikannya. Namun anak kecil yang dari tadi sore mengejar bus sudah tidak nampak lagi. Mungkin anak itu sudah lelah berharap dengan orang-orang yang tidak peduli terhadap penderitaannya. Sudah lelah berkutat dengan keditakpastian. Sudah bosan dengan mimpi-mimpi yang tak kunjung nyata.
”Seandainya aku punya banyak uang, pasti akan aku bantu mereka,” bisik Doni sambil menatap nenek tua dan cucunya itu.